Powered By Blogger

image

image
peta

Rabu, 07 Desember 2011

Titik Nadir Perlawanan Kerajaan Aceh




Daerah dataran tinggi Gayo yang merupakan benteng alam yang sangat strategis bagi pertahanan pasukan kerajaan Aceh. Dataran ini juga sempat digunakan oleh Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daudsyah (1874-1903) beserta pengawalnya maupun tokoh-tokoh penting dalam Perang Aceh yang sangat besar, sebagai benteng pertahanan terakhir saat terdesak di daerah-daerah pesisir Aceh oleh kepungan dan penerapan lini konsentrasi yang dilakukan sejak pembentukan pasukan marsose oleh kolonial Belanda pada 2 April 1890.

Di antara tokoh-tokoh penting dalam Perang Aceh yang sempat mengundurkan diri ke daerah dataran tinggi Gayo di sekitar Lut Tawar dan Linge adalah Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daudsyah sebagai kepala pemerintahan tertinggi kerajaan Islam Aceh. Beliau mengundurkan diri ke daerah Gayo Lut dan Linge pada tahun 1901, setelah benteng pertahanan Aceh di Batee Iliek di Samalanga dapat dikuasai Belanda. Selain Sultan, Panglima Polem seorang panglima yang masyhur juga mengundurkan diri ke daerah Ketol Gayo Lut sejauh 30 Km dari Takengon. Beliau mundur setelah pasukannya semakin terdesak oleh pasukan marsose Belanda di daerah kabupaten Bireuen sekarang.

Tokoh lain yang mengundurkan diri ke dataran tinggi Gayo adalah pahlawan perempuan terkenal Cut Nyak Din. Beliau mundur ke daerah Celala sejauh kurang lebih 15 Km dari Takengon di sebelah hulu Wihni Takengon (hulu Krueng Peusangan) pada tahun 1900-1901, ketika melanjutkan perlawanan terhadap Belanda dengan bergerilya setelah suaminya Teuku Umar tertembak pada 11 Februari 1889 di Suak Ribee Meulaboh.

Beliau selama hampir setahun bertahan di sana. Cut Nyak Din akhirnya meninggalkan Celala pada pertengahan tahun 1901 dan menyingkir ke daerah Beutong hingga akhirnya ditangkap Belanda pada 4 November 1905 di Babah Krueng Manggi Aceh Barat. Beliau akhirnya diasingkan ke Sumedang Jawa Barat hingga meninggal dunia di sana pada 6 November 1908.

Kedatangan Sultan, Panglima Polim dan Cut Nyak Din ke dataran tinggi Gayo disambut dengan baik oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan rakyat Gayo. Mereka dikawal oleh para Pang yang terkenal dari Gayo untuk menjaga dan mengawal mereka dari kepungan Belanda. Kedatangan Sultan ke Tanoh Gayo, dikarenakan kepercayaan Sultan akan kesetiaan raja-raja dan rakyat Gayo sehingga tidak mungkin beliau mengundurkan diri ke sana, apabila tidak yakin terhadap kesetiaan mereka yang tinggi dalam peperangan yang sangat hebat pada saat itu.

Menurut Snouck, ketika Sultan sedang terkepung pada tahun 1900 di daerah Samalanga pemimpin dan panglima-panglima dari Gayo ikut mengawal keselamatan Sultan. Selain itu juga pengawal dari daerah Serbejadi, seperti Nyak Ara dan Panglima Sekoulun. Ketika pasukan marsose pimpinan van Heutz menyerang Benteng Batee Iliek Samalanga, Sultan dapat diselamatkan ke daerah Peudada, kemudian dipindahkan ke daerah Peusangan. Pasukan Belanda terus mengejar di manapun posisi Sultan, tetapi mereka tidak berhasil menyergapnya. Setelah posisi pejuang Aceh semakin terjepit, akhimya Sultan dan pengawal-pengawalnya mengundurkan diri ke dataran tinggi Gayo di daerah Berusah, sekitar 50 km dari Takengon.

Saat tiba di Lut Tawar, Sultan dan rombongannya disambut dengan meriah oleh Kejurun Buket, Linge, Siah Utama, Cik Bebesan, para Pengulu, Pang-Pang dan seluruh masyarakat Gayo. Para Kejurun mempersiapkan penyambutan Sultan dan memberikan pengawalan yang ekstra ketat untuk menghindari sergapan kolonial Belanda. Pada awalnya Sultan menetap di Takengon, tepatnya di pinggiran danau Lut Tawar di hulu Wihni Takengon (Krueng Peusangan).

Pada tahun 1901, Mayor van Daalen yang baru kembali ke Bireuen dari ekspedisi ke dataran tinggi Gayo, namun sebaliknya para pasukan Sultan baru tiba di Lut Tawar. Pada ekspedisi itu, disebutkan van Daalen membakar kampung Kebayakan tempat domisili Raja Bukit pada tanggal 5 Oktober 1901. Kampung Kebayakan dibumihanguskan pasukan marsose yang hanya menyisakan Mesjid dan Mersah (Mushalla) serta beberapa rumah. Namun pihak Belanda tidak mengakui telah melakukan pembumihangsusan, tetapi rakyat Gayo di sana yang menjadi saksi bahwa pasukan van Daalen yang membakar kampung itu untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Gayo.


Setelah beberapa hari berada di sekitar Lut Tawar, Sultan beranjak ke Kampung Rawe sekitar 8 Km dari Takengon. Pada saat di Kampung Rawe, datang menghadap raja-raja Gayo kepada Sultan. Di antaranya Raja Porang, Raja Gele, Raja Bukit, Kute Lintang, Rema, Tampeng, Kemala Derna, (Rempelam), Seneran (Gegarang). Mereka mengikrarkan “sumpah setia” kepada Sultan dan mendukung sepenuhnya serta siap sedia menghadapi serangan Belanda.

Selain itu dari Gayo Lues, raja-raja juga mengharapkan kedatangan Sultan ke sana. Peristiwa kedatangan raja-raja Gayo Lues ini terjadi pada Desember 1901. Di pihak Kejurun yang hadir antara lain Aman Ratus dan Aman Bidin. Di Rawe, Sultan dikawal oleh Ulubalang Ranta, Teungku M.Sabil, Raja Kader, Aman Kerkom, dan lain-lain.

Setelah beberapa lama tinggal di Rawe, Sultan pindah ke Kampung Lenang di Isak Linge. Pasukan Belanda akhirnya mengetahui persembunyian Sultan di Kampung Lenang. Pasukan Belanda di bawah Kapten Colinj menyerang posisi Sultan di Kampung Lenang. Pertempuran terjadi, pasukan pengawal Sultan pimpinan Ulubalang Ranta dan Teungku M.Sabil mempertahankan diri. Pasukan pengawal semakin terjepit dan menyebabkan syahidnya Teungku M.Sabil dengan beberapa personil pasukan lainnya.

Sultan mengundurkan diri lagi ke daerah Isak Linge, dan meneruskan pelariannya ke Kampung Lumut, tidak jauh dari Burni Intim-Intim di perbatasan Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Rencana Sultan mengunjungi Gayo Lues dengan menerobos Burni Intim-Intim tidak terlaksana dan meneruskan perjalanannya ke daerah Pamar dan selanjutnya ke Pidie.

Selama dalam perjalanan Sultan ini, Uleebalang Ranta dan Raja Kader tetap mengikuti rombongan sampai di Keumala, tetapi di daerah Peudue, pedalaman Pidie rombongan Sultan diserang Belanda sehingga Raja Kader syahid. Ulubalang Ranta dapat meloloskan diri dan dapat kembali ke Takengon. Akhirnya Sultan Aceh yang terakhir Tuanku Muhammad Daudsyah ditangkap Belanda di daerah Pidie pada tahun 1903 dan dianggap sebagai titik nadir perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Belanda yang dimulai sejak tahun 1873.

Penggalian Puteri Pukes di Takengon Lanjut

Penelitian kepurbakalaan yang dilakukan oleh sejumlah Arkeolog dari Balai Arkeologi Medan Sumatera Utara di sejumlah tempat di Aceh Tengah beberapa waktu silam akan dilanjutkan kembali. Rencananya dalam bulan ini akan dilakukan eskavasi (penggalian) di Ceruk Mendale, Loyang (gua) Peteri Pukes dan Ujung Karang kecamatan Kebayakan Aceh Tengah.
Demikian pernyataan Ketut Wiradyana, Rabu (15/9) yang merupakan salah seorang arkeolog pada penelitian sebelumnya berhasil menemukan sejumlah benda-benda budaya peninggalan manusia dimasa neolitik dan mesolitik di kawasan Mendale pinggiran Danau Laut Tawar.

"Kami akan melakukan penelitian lanjutan pekan depan dan berharap kembali berhasil menemukan sesuatu yang penting terkait sejarah manusia purbakala," kata Ketut.

Dijelaskan Ketut, Takengon dengan Loyang Mendale-nya merupakan salah satu wilayah di Provinsi Aceh yang memiliki situs masa prasejarah dari periodisasi neolitik. Bahkan di Sumatera Bagian Utara, selain di Natuna, Kepri, situs Loyang Mendale merupakan situs kedua yang ditemukan tim Balai Arkeologi Medan dalam upaya mengungkapkan sejarah kehidupan masa lalu dalam babakan periode dimaksud.

Adapun benda-benda yang sudah ditemukan di dua tempat, ceruk Mendale dan Loyang Peteri Pukes antara lain berupa fragmen tembikar polos, tembikar hias, cangkang moluska, dan fragmen tulang. Selain itu juga ditemukan bahan alat batu/alat serpih berupa kapak lonjong yang merupakan budaya dengan teknologi pada masa neolitik atau zaman batu baru.

Menurut Ketut, artefak batu yang ditemukan di Loyang Mendale menunjukkan adanya indikasi dua babakan masa yang berbeda yang telah berlangsung di kawasan Mendale. "Babakan masa tertua ditunjukkan dari sebuah alat batu berupa kapak genggam dengan morfologi dan teknologi dari masa mesolitikum atau zaman batu pertengahan,"ujarnya.

Hal tersebut juga diperkuat dengan temuan serut samping di kedalaman berkisar 70 cm dari permukaan tanah yang juga umum ditemukan di situs-situs yang sejaman dengan periodisasi mesolitikum, kata Ketut seraya menambahkan bahwa batasan mesolitik dan neolitik tak sama antar wilayah. Di Papua saja sekarang orang masih ada yang hidup berburu. Secara umum neolitik berlangsung ke Indonesia sekitar 5000 tahun yang lalu, untuk mesolitik di Indonesia mulai sekitar 4000 tahun lalu

Dipastikan, lanjutnya, keberadaan dua budaya yang berbeda dapat berarti bahwa di wilayah di Loyang Mendale (termasuk Gua Putri Pukes) pernah berlangsung aktivitas budaya dengan karakter yang bermasa mesolitikum, dimana peralatan batunya masih dibuat relatif sederhana dengan hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa neolitikum dengan peralatan batu yang sudah lebih maju, dimana pengerjaannya sudah diumpan dan hidup sudah menetap dan telah mulai bercocok tanam.

Ditegaskan, adanya migrasi dimasa neolitik ke pulau Sumatera yang terjadi sekitar 1000 tahun sebelum Masehi dipertegas dengan dengan keberadaan situs Loyang Mendale. Selanjutnya keberadaan alat berbahan kulit kerang air payau tersebut mengindikasikan pada masa prasejarah telah terjadi kontak dengan kelompok masyarakat yang ada di pesisir. Hal lain yang dimungkinkan yaitu kelompok masyarakat yang cenderung di pesisir, pindah ke pedalaman yakni ke Loyang Mendale.

Ketut berkesimpulan, situs Mendale memegang peran penting dalam kaitannya dengan perekonstruksian sejarah budaya bangsa Indonesia. Takengon dengan Loyang Mendale merupakan salah satu bukti adanya migrasi pada masa mesolitik dan neolitik di Indonesia bagian barat.

Arkeolog ramah asal pulau Bali ini berharap, kawasan perbukitan Mendale dijadikan kawasan cagar budaya dalam kaitannya dengan penyelamatan data kesejarahan dan menunjang Lut Tawar sebagai objek pariwisata dan pemanfaatan berbagai potensi lain yang telah ada sebagai bagian jatidiri masyarakat Gayo Takengon dan sekitarnya.

LEGENDA PUTRI PUKES, TAKENGON, NAD

GUA PUTRI PUKES
GUA PUTRI PUKES
Legenda Puteri Pukes
Pemandangan di seputar danau sangat eksotik dan menarik. Banyak cerita legenda yang mengelilingi keindahan danau ini, seperti legenda beberapa goa. Yang cukup terkenal adalah Legenda Goa Puteri Pukes. Cerita kehadiran goa yang berada di pinggir danau ini cukup menggelitik.
Konon, saat tuah orang tua masih menjadi kenyataan, hiduplah seorang puteri bernama Pukes. Puteri Pukes kemudian dipinang oleh seorang pangeran dari seberang Danau Laut Tawar. Sesuai adat, jika seorang perempuan sudah dipinang dan diperistri, maka ia harus ikut dan tinggal dalam lingkungan keluarga besar suaminya.
Setelah dipinang, Puteri Pukes pun harus meninggalkan kedua orangtua, saudara dan kampung halamannya menuju kampung halaman sang suami. Sebelum sang puteri berangkat, terlebih dahulu ia diberi petuah oleh orangtuanya. Satu pesan yang harus ia ingat dan patuhi adalah, agar sang anak tidak menoleh ke belakang melihat orangtua, saudara ataupun kampung halamannya. Ia harus meneguhkan keyakinan untuk ikut bersama keluarga sang suami.
Meski sedih dengan pesan tersebut, namun sang puteri tetap harus mematuhinya. Saat perjalanan melintas danau menuju negeri sang suami, tiba-tiba sang puteri merasakan rindu yang tak terperi kepada orangtua dan kampung halamannya. Tanpa disengaja, ia pun menoleh ke belakang untuk sekadar melihat. Tuah orang tua pun terjadi. Dalam sekejap, cuaca yang cerah berubah menjadi gelap, dan petir di angkasa sambung menyambung. Badai pun datang. Tiba-tiba, sang puteri berubah wujud menjadi batu.
Kini, di dalam Goa Puteri Pukes yang berada di pinggir jalan, tepat di depan danau, terdapat patung seorang puteri. Konon, sesekali patung tersebut mengeluarkan air mata penyesalan akibat tak mendengar petuah orangtuanya. Objek wisata ini cukup ramai dikunjungi masyarakat sekitar maupun pendatang, terutama di hari libur....